Desa, Sumber Data yang Terpercaya
Sejak tahun 2016, Indeks Desa Membangun (IDM) telah menjadi instrumen utama dalam mengukur capaian pembangunan desa di Indonesia. Selama hampir satu dekade, IDM berperan dalam memetakan status desa mulai dari sangat tertinggal hingga mandiri, serta menjadi salah satu referensi dalam alokasi Dana Desa dan evaluasi pembangunan. Namun, pada tahun 2025, pendekatan ini mengalami transformasi besar melalui hadirnya Indeks Desa 2025 sebagai sebuah sistem baru yang tidak hanya mengukur status, tetapi juga menjadi alat evaluasi kinerja lintas sektor berbasis data desa.
Indeks Desa 2025 memperkuat posisi desa sebagai simpul informasi strategis. Pendataan dilakukan langsung oleh perangkat desa dengan bimbingan pendamping, diverifikasi oleh kecamatan dan kabupaten, lalu dikonsolidasikan di tingkat nasional. Mekanisme ini menunjukkan kepercayaan negara kepada desa sebagai penghasil data primer yang akurat, aktual, dan kontekstual.
Dengan pendekatan ini, desa bukan lagi objek statistik, tetapi sumber utama yang mampu memotret kondisi sosial, ekonomi, dan layanan dasar secara nyata. Inilah titik balik penting dalam narasi pembangunan: saat negara mengandalkan data dari tapak paling bawah untuk menilai dirinya sendiri.
Indeks Desa 2025: Kolaborasi Lintas Kementerian
Penyusunan Indeks Desa 2025 bukanlah kerja satu institusi. Ia lahir dari sinergi lintas kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Desa, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, BPS, dan Kemenko PMK. Kolaborasi ini mengisyaratkan bahwa kebijakan pembangunan berbasis data tidak dapat lagi didekati secara sektoral.
Enam dimensi yang dikembangkan dalam indeks ini meliputi layanan dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola pemerintahan, menuntut keterlibatan banyak pihak. Misalnya, untuk menilai layanan pendidikan, tidak cukup hanya mencatat keberadaan sekolah, tetapi juga mencermati kualitas akses dan operasionalisasinya. Hal ini menghubungkan langsung data desa dengan peran dinas pendidikan, dinas PU, bahkan legislatif daerah.
Proses penyusunan indeks juga menunjukkan bagaimana negosiasi antarinstansi dilakukan dengan semangat saling percaya. Tidak ada dominasi satu kementerian. Sebaliknya, semua pihak menyepakati bahwa evaluasi desa harus dilakukan secara teknokratik dan objektif. Proses ini menjadi model kolaborasi birokrasi yang patut diapresiasi dan direplikasi dalam kebijakan lintas sektor lainnya.
Salah satu keunggulan Indeks Desa 2025 adalah adanya rekomendasi otomatis berdasarkan hasil pendataan. Setiap desa akan memperoleh daftar indikator yang belum terpenuhi, yang seharusnya menjadi pijakan dalam menyusun program pembangunan. Sayangnya, di banyak daerah, rekomendasi ini belum sepenuhnya dijadikan acuan oleh pemerintah kabupaten atau organisasi perangkat daerah (OPD).
Permasalahan ini bukan soal teknis, melainkan soal pemahaman dan kemauan politik. Banyak daerah belum menjadikan persentase desa mandiri sebagai indikator kinerja kepala daerah. Padahal, jika rekomendasi dari Indeks Desa 2025 digunakan dalam Musrenbang, RPJMD, hingga program OPD, maka arah pembangunan akan lebih tepat sasaran dan terukur.
Dari Rekomendasi Menjadi Arah Kebijakan
Salah satu contoh baik di era IDM 2021 datang dari Provinsi Kalimantan Barat. Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Barat saat itu mengeluarkan peraturan tentang pemanfaatan hasil indeks desa sebagai dasar intervensi program di berbagai OPD. Langkah ini menunjukkan bahwa dengan regulasi dan kemauan, data desa bisa benar-benar menjadi kompas pembangunan daerah.
Peran TAPM dan Pendamping dalam Mengawal Data
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) dan pendamping desa memiliki peran strategis dalam memastikan data desa tidak hanya akurat, tetapi juga dimanfaatkan. Tugas pendamping saat ini tidak cukup hanya mendampingi proses input kuisioner, melainkan juga menjembatani komunikasi antara desa dan pemerintah daerah.
Pendamping harus menjadi agen advokasi yang mengedukasi OPD tentang isi dan makna dari rekomendasi indeks desa. Dengan pemahaman yang memadai, data ini bisa diterjemahkan menjadi program konkret. Selain itu, TAPM juga berperan sebagai jembatan antara teknokrasi pusat dan dinamika lokal, agar instrumen seperti Indeks Desa tidak berhenti sebagai formalitas.
Dengan keterlibatan aktif TAPM, proses verifikasi data menjadi lebih valid dan mendalam. Pendamping dapat membantu desa membaca rekomendasi, melakukan simulasi solusi, hingga menyusun narasi pembangunan yang terintegrasi dengan data. Dengan demikian, pemberdayaan tidak hanya berhenti di desa, tetapi menyentuh seluruh ekosistem birokrasi pembangunan.
Penutup: Ketika Desa Menjadi Cermin Negara
Ketika negara ingin mengukur sejauh mana pembangunan telah berlangsung, maka lihatlah dari desa. Indeks Desa 2025 adalah representasi dari wajah Indonesia yang paling jujur. Ia tidak menyembunyikan kesenjangan, tidak melebih-lebihkan capaian, dan tidak tunduk pada kepentingan politik jangka pendek.
Dengan menjadikan data desa sebagai dasar evaluasi nasional, kita sedang membangun pondasi satu data Indonesia yang sebenarnya. Di tengah tantangan disinformasi dan bias data, desa tampil sebagai penjaga objektivitas. Maka, sudah saatnya semua pihak mulai dari kepala daerah hingga kementerian, menjadikan data ini bukan hanya rujukan, tetapi juga arah dan komitmen. Karena negara yang besar adalah negara yang mau melihat dirinya dari tempat paling kecil yaitu desa.
Sumber : https://www.kompasiana.com/fourzanitongjaya3408/6802ed6bed64150fa93f18d2/ketika-negara-dinilai-dari-desa-kompasianadesa?page=2&page_images=1
Kreator: Akhmad Fourzan Arif Hadi P